Advertiser

Breaking News

Melawan Stigma bagi Penyandang Epilepsi

Prevalensi penyandang epilepsi cukup tinggi di negara berkembang. Sejauh ini, hanya sebagian kecil yang mendapatkan pengobatan. Pasien sering mengalami masalah psikososiokultural.

Epilepsi adalah gangguan bangkitan berulang, yang disebabkan karena letupan elektrik abnormal dari sel-sel saraf otak, dengan manifestasi klinik yang beraneka macam. Epilepsy sudah lama dikenal oleh masyarakat, sudah sejak 500-700 Sebelum Masehi. Namun, hingga kini pemahaman masyarakat tentang penyakit ini masih rendah.

Berbagai stigma negative sampai saat ini masih terjadi dalam masyarakat. Epilepsy dihubungkan dengan berbagai kondisi, seperti kesurupan, kena guna-guna atau kutukan. “Dikucilkan dari lingkungan, dikeluarkan dari sekolah dan karir serta kehidupan rumah tangga terhambat, merupakan masalah psikososiokultural yang sering dihadapi penyandang epilepsy,” ujar dr. Irawati Hawari, SpS, Ketua Umum Yayasan Epilepsi Indonesia.

Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, diketahui bahwa bangkitan epilepsi memiliki hubungan dengan suatu kelainan di otak. Diketahui, seseorang akan mengalami perubahan tingkah laku berulang yang disebabkan oleh perubahan abnormal dari aktivitas listrik di  otak.

Menyerang segala usia

Gangguan epilepsi dapat menyerang siapapun, anak, orang dewasa, orang tua dan bahkan pada bayi yang baru lahir. Berdasarkan data yang ada, laki-laki memiliki tingkat insiden dan prevalensi sedikit lebih tinggi dari pada wanita. Data WHO pada tahun 2009 menyebutkan, prevalensi penyandang epilepsi diperkirakan mencapai 50 juta di seluruh dunia. Sebanyak 90% ditemukan di negara berkembang.

Beberapa penelitian menyebutkan, prevalensi penyandang epilepsy di tiap negara antara 0,5-2%. Apabila jumlah penduduk Indonesia diperkirakan 250.000 jiwa, maka penyandang epilepsi akan mencapai 1,25 – 5 juta. Namun, data yang terkumpul sampai tahun 2006 hanya berkisar pada angka 1-1,5 juta orang.

Patofisiologi

Berdasarkan patofisiologinya, otak manusia terdiri dari trilyunan sel-sel saraf yang saling berhubungan satu dengan lainnya. Hubungan antara sel saraf terjalin dengan baik melalui cetusan listrik, dan adanya bantuan zat kimia yang disebut sebagai neurotransmitter. Dalam keadaan normal, lalu lintas listrik akan berjalan dengan baik karena neuro transmitter bekerja dengan baik. Lain halnya jika terdapat kelainan neuro transmitter.

Gangguan atau ketidak seimbangan neuro transmitter bisa terjadi karena dipicu oleh gangguan metabolik, setelah cidera kepala, infeksi, gangguan peredaran darah dan akibat gangguan perkembangan otak. Berdasarkan gejala dan tanda yang muncul, epilepsy dibagi menjadi 3 jenis, yaitu epilepsy vocal, epilepsy umum, dan epilepsy yang tidak diklasifikasikan. “Mengetahui gejala dan tanda-tanda epilepsy sangat penting, untuk membedakannya dengan kondisi kesehatan lain yang tentunya menentukan pengobatan pada pasien,” ujar dr. Irawati. Perlu diingat bahwa epilepsy pada anak dan dewasa berbeda, baik dilihat dari sisi penyebabnya, gejala yang tampak, pengobatan yang diberikan serta prognosisnya.

Diagnosis epilepsi

Dalam melakukan diagnosa epilepsy, dibutuhkan berbagai informasi yang mengharuskan dokter untuk melakukan beberapa test terhadap pasien. Wawancara langsung dengan penyandang epilepsy sulit dilakukan, karena pasien tidak mampu mengingat apa yang terjadi ketika bangkitan terjadi. Sejumlah informasi seperti pemeriksaan EEG (elektroensefalografi), tes darah dan pemeriksaan radiologi dapat memberikan informasi tambahan, untuk menegakkan diagnosis.

EEG akan memberikan gambaran rekaman aktivitas listrik di otak. Neuron-neuron di korteks otak akan mengeluarkan gelombang listrik dengan voltase yang sangat kecil (mV), yang kemudian dialirkan ke mesin EEG untuk diamplifikasi, sehingga terekamlah elektrosefalogram dengan ukuran yang cukup dapat ditangkap dengan gelombang alfa, beta, theta, delta dan sebagainya.

Jika diagnosa epilepsy telah ditegakkan, menurut data yang ada, 70% dari penderita epilepsi dapat mengendalikan bangkitan dengan obat anti epilepsi (OAE). OAE bertujuan untuk mencegah munculnya bangkitan. OAE umumnya diberikan secara mono terapi, yang dimulai dengan dosis rendah dan kemudian dinaikkan sampai kejang hilang. (ant)

Tidak ada komentar