Dr. dr. Basuki Supartono, SpOT, MARS
Sederhana, luwes,
bersahaja. Itu kesan banyak orang saat bertemu Dr. dr. Basuki Supartono, SpOT, MARS, di rumah sakitnya di
Kramatjati, Jakarta Timur. Sesekali,
kelahiran Jakarta 22 Oktober 1961 ini bercerita tentang masa mudanya
yang sedikit “nakal”. “Saya dulu
aktivis tahun 1980-an. Sempat di cari-cari, sampai akhirnya kabur dari UI,
kemudian melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya,” ujarnya. Ia
tidak pernah menyangka akan menjadi dokter. “Hidup saya dinamis, apa yang ada
saya jalani saja.”
Sejak kuliah di
FK, kehidupannya berubah 180 derajat. Iia menjadi relijius dan gemar melakukan
kegiatan kemanusiaan. “Batin saya terpanggil untuk membantu sesama. Itu yang menggerakkan
saya dan teman-teman mendirikan organisasi Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI).”
Ia menjadi
relawan Tim Kemanusiaan BSMI, dari 2003 hingga sekarang. Beberapa negara
konflik seperti Irak, Libanon, Palestina, Gaza
pernah ia sambangi untuk memberi bantuan
medis. Tak heran jika ia sering mendapat penghargaan, seperti Satya Lencana
Kebaktian Sosial, dan Satya Lencana Karya Satya XX dari Presiden Republik
Indonesia, dan beberapa penghargaan lain.
Jangan salah. Di
balik prestasinya, ayah 5 anak ini punya hobi main futsal. “Saya berani diadu
soal mengencoh bola. Tendangan kaki kiri saya mematikan loh,” ia tertawa. Ia biasa bermain futsal dengan sesama dokter,
perawat, atau office boy. Ini merupakan
upaya, untuk mendekatkan diri kepada karyawan. “Sudah bukan jamannya dokter
dilayani dan disanjung. Seharusnya, dokter yang melayani,” imbuhnya.
Disertasi S3-nya
mengenai stem sell, hasilnya sangat menggembirakan. Ia sudah mengaplikasikan
pada seorang penderita diabetes, yang sudah divonis untuk melakukan amputasi.
“Pasien itu, seorang ibu, orang tidak mampu; penjual nasi uduk,” jelasnya.
Setelah menjalani terapi stem sell selama sekitar 2 bulan, ia sembuh dan tidak
harus diamputasi. Berapa sebenarnya biaya untuk terapi stem sell di Indonesia? “Umumnya
dokter membandrol Rp. 35-100 juta,” ujarnya. Di laboratorium limiknya, stem
sell bisa didapat dengan harga Rp. 3 juta-an. “Kemarin itu saya dibayar dengan
sebungkus nasi uduk. Dan saya senang.” (ant)
4 komentar
Cerita yang berbanding terbalik dengan kenyataan.
boleh ditanya pada karyawan2nya, org seperti apa Basuki Supartono. Rakus dan manipulatif
"Al immamu roin fahua masyulun an roiyatihi" setiap pemimpin itu adl pelayan dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas apa yg dilayaninya.
Pencitraan...!!! Omongannya manis tindakan sadis..
Posting Komentar