dr. Damara Andalia
dr. Damara Andalia |
Sibuk sebagai mahasiswa S2 Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, ia masih bisa menyalurkan hobi membaca dan
nonton film. “Saya suka novel yang easy
reading atau yang puitis,” ujar dr.
Damara Andalia. Beberapa novel karya J.K Rowling tersusun rapi di kamarnya.
Kalau nonton film, ia bersama rekannya ke gedung bioskop atau cukup di rumah.
Setelah travelling ke Eropa, ia ingin sekali ke Jepang. “Jepang itu negaran
maju, tapi menjunjung tinggi nilai-nilai
budaya. Masih banyak wanita yang memakai kimono.” Sesungguhnya, Indonesia tidak
kalah menarik. “Banyak tempat wisata menarik yang belum saya kunjungi. Dalam
waktu dekat, saya berencana ke Pulau Komodo.”
Ia menilai, menempuh pendidikan dokter - dokter umum mau pun spsialis - tidak
semudah yang dibayangkan. “Sangat menyita waktu,” paparnya. Terkadang ia sampai
iri melihat rekan semasa SMA yang bisa lunch bareng di sutau tempat. Sementara,
kadang ia baru bisa makan siang pukul 15.00 - 16.00, “Nunggu pasien habis atau sepi.”
Tapi, semua dilakukan dengan ikhlas. Ia berprinsip, untuk mencapai goal
memang perlu perjuangan. Yang kadang membuatnya sedih, “Dokter di Indonesia
dibutuhkan, tapi kurang dihargai.” Ibarat
tempe, ”Banyak yang suka, tapi dihargai rendah. Tidak sebanding dengan lamanya
pendidikan yang harus ditempuh dengan biaya tidak sedikit.”
Padahal, kualitas dokter Indonesia tidak kalah dibanding dokter di luar
negeri. Bahkan banyak yang lebih baik. Kenyataannya, WNI yang berobat ke luar
negeri seperti ke Singapura atau Malaysia.
Ia juga prihatin atas minimnya pembelaan hukum bagi profesi dokter bila ada
masalah malpraktik.
Serba salah. Menghadapi pasien dengan tingkat pendidikan rendah, mereka tidak
paham masalah kesehatan. Pasien yang berpendidikan tinggi, kalau ada masalah menuntut
dokter. Untuk mengatasi hal ini, ia berusaha membina hubungan baik dengan
pasien. “Kalau komunikasi berjalan baik, Insya Allah, semua akan baik-baik saja.”
(ant)
Tidak ada komentar
Posting Komentar