Prof. dr. Zainul A. Djaafar, SpTHT-KL
Prof. Zainul A. Djaafar |
Dulu, di kampung halamannya jangankan dokter, mantri
pun tidak ada. Sosok dokter ia kenal dari majalah yang dibawa teman ayahnya seorang
tentara. Sejak itu, kalau ada yang bertanya nanti mau jadi apa, tanpa ragu ia
menjawab, “Jadi dokter.”
Kakak-kakaknya mencibir, “Kau ini, gak ada
bau-baunya jadi dokter.” Lulus Sekolah Rakyat (kini SD), ayahnya mendaftarkan
masuk Madrasah Tsanawiyah (MTs). Itu karena kakak-kakaknya jarang ke mesjid dan
kurang terpapar ilmu agama. Sebagai anak bungsu, ia diarahkan menjadi kyai.
Tiga bulan di sana, ia nekat keluar dan memilih masuk
SMP agar bisa melanjutkan ke SMA B; ini syarat untuk menjadi mahasiswa kedokteran.
Sempat bersitegang dengan orangtua, akhirnya ia bisa masuk FKUI dan lulus
sebagai dokter. Dialah Prof. dr. Zainul
A. Djaafar, SpTHT-KL, salah seorang pendiri RS Khusus Bedah THT di Jl.
Proklamasi, Jakarta Pusat.
Di FKUI, ia mendapat beasiswa sampai lulus tahun
1966. Saat itu kebijakan pemerintah membolehkan langsung menempuh pendidikan
dokter spesialis. Ia sempat tertarik menjadi seorang ginekolog karena, “Bidang
ginekolog itu hebat, ada tindakannya dan kemungkinan untuk jadi orang sukses lebih
banyak.”
Pendidikan spesialis obstetri ginekologi syaratnya tidak boleh praktek
dokter setidaknya 2 tahun pertama pendidikan. “Kalau tidak praktek, terus saya
makan dari mana. Saya kemudian masuk THT,” katanya.
Ternyata, ia sangat menikmati. Ia mendapat
beasiswa ke Prancis dan kembali dari sana, mendirikan RS Khusus Bedah THT. Hobinya
membaca dan diskusi politik, tapi tidak ingin menjadi politisi. “Politisi tidak
menghasilkan uang, hanya menghasilkan kedudukan. Kalau jadi politisi tapi tidak
punya uang jelas repot. Bisa-bisa korupsi.”
Prof. Zainul memilih tetap berprofesi sebagai
dokter. Dan meski tidak menjadi kyai seperti harapan orangtua, pengalaman di madrasah
membuatnya tertarik mendalami agama. “Saya selalu menyisipkan ayat-ayat Alquran
kalau presentasi medis.” (ant)
Tidak ada komentar
Posting Komentar