dr. Ibnu Benhadi, SpBS
Mengasah
jarum suntik. Ini pengalaman dr. Ibnu
Benhadi, SpBS, saat menjalani PTT di Puskesmas Pematang Karau, Kalimantan
Tengah. “Dulu ya seperti itu. Jarum suntik kita juga yang asah. Tidak seperti sekarang,
sekali pakai buang,” kata dokter yang praktek di RSU Bunda, Jakarta, ini.
Ada
kalanya jarum suntik tidak perlu diasah. “Ada pasien yang hanya mau disuntik kalau
jarumnya tumpul. Katanya, kalau jarumnya tajam tidak terasa seperti disuntik,
karena tidak terdenfar bunyi krek
ketika ujung jarum menembus kulit.”
Sekali
waktu, datang pasien yang kepalanya berbalut ikat kepala dan berkata, “Garing. Garing dok.” Maksudnya: demam/panas,
dan ia minta disuntik. Dokter yang gemar bercanda ini menjawab, “Belum tahu
sakitnya apa, minta suntik. Mau saya suntik mati?”
Lulus
dokter umum di Undip Semarang, kelahiran Semarang, 8 Juli 1965, ini mengambil spesialis bedah saraf di FKUI. “Karena diterimanya
di sini, ya saya jalani saja,” katanya. Tapi, ia memang tertarik bidang bedah.
Kebetulan, teman naik gunung dan main bolanya adalah para dokter bedah.
Bukan
dari keluarga dokter, sejak kecil ia diarahkan untuk menjadi dokter oleh
orangtua. “Mungkin karena begitu terobsesi,
orangtua memakaikan pakaian dokter sejak saya masih kecil,” kenangnya.
Kebetulan, ia menggemari mata pelajaran biologi, yang sangat mendukung untuk
menjadi dokter.
Itu
sebabnya, tinggal di pedalaman Kalimantan dan wilayah kerjanya meng-cover sekitar 9000 kepala keluarga, ia
merasa enjoy. Apalagi, di sana ia hidup berkecukupan. “Di rumah dinas Puskesmas
ada kulkas, parabola. Itu barang sangat langka waktu itu.” Ia juga tetap bisa
menjalankan hobynya bermain gitar dan olah raga ringan.
Ia
hoby gitar sejak SMP. Sekarang ia menyempatkan bermain gitar bersama anaknya di
rumah. Kegemarannya adalah musik klasik. Jangan salah. “Saya pernah les musik.
Mungkin karena waktu remaja saya nggak punya temen nongkrong. Boleh dibilang,
saya ini anak mami banget.” (ant)
Tidak ada komentar
Posting Komentar