Hati-hati Herniasi Diskus Vertebralis, PELD Teknologi Terkini Bisa Jadi Solusi
Tulang belakang (spine) pada manusia
tersusun dari 32 ruas tulang, dan dibagi menjadi 5 segmen utama meliputi
susunan tulang cervical/ leher, thorakal, lumbar/ tulang punggung bawah, sakral
dan coccyx/ tulang ekor. Ruas-ruas tulang belakang berjajar rapi, kecil diatas
dan membesar dibawah hingga sakral. Selain menyangga tubuh dan menopang berat
kepala, tulang belakang berfungsi sebagai tempat melekatkanya otot dan
saraf-saraf penting.
Diantara ruas tulang belakang, terselip jaringan lunak yang disebut diskus
intervertebra/ diskus spinal, fungsinya sebagai peredam kejut dan menjaga
fleksibilitas tulang belakang untuk memudahkan semua gerakan tubuh. Inti diskus
vertebra, teksturnya lebih lembut dibandingkan sisi bagian luar (anulus), yang
berfungsi melindungi inti diskus yang berupa gel yang dalam istilah kedokteran
disebut nucleus pulposus.
Diskus invertebra, saat masih anak-anak memiliki cairan yang cukup banyak
dan fleksibel menopang ruas-ruas tulang belakang. Seiring dengan bertambahnya
usia, bagian dari proses penuaan, cairan diskus mengalami penurunan. Dampaknya
anulus menjadi lebih keras dan gampang pecah.
Dipicu aktivitas fisik berlebih atau trauma, diskus vertebra dapat
mengalami kerusakan, berupa herniasi (tonjolan tak normal) sehingga disebut
herniasi diskus vertebralis. Kondisi ini akan mengganggu saraf di sekitar
tulang belakang, menimbulkan sensasi nyeri, baal atau kelemahan pada bagian
lengan atau tungkai. Herniasi diskus vertebralis, yang menyebabkan penekanan
pada saraf sekitar, ini yang kemudian dikenal masyarakat sebagai saraf terjepit
(herniated nucleus pulposus/HNP).
“Herniasi diskus ruas tulang lumbar lebih sering terjadi, karena ruas tulang
lumbarlah yang menopang berat tubuh dalam melakukan aktifitas sehari-hari,”
ujar dr. Mahdian Nur Nasution, SpBS,
pakar nyeri Klinik Nyeri dan Tulang Belakang Onta Merah, Jakarta. Meski
demikian herniasi diskus juga dapat terjadi
pada susunan ruas tulang cervical, sakral dan thorakal, namun jumlahnya
lebih sedikit.
Herniasi diskus vertebralis sebenarnya terjadi pada 56% orang dewasa usia
kerja (21-59 tahun), namun 35% diantaranya bersifat asymptomatic, sehingga
tidak menimbulkan gejala. Sisanya 20% memiliki gejala dari ringan hingga berat.
“Yang datang ke klinik umumnya sudah berat, dan tidak bisa beraktivitas,” jelas
dr. Mahdian.
Tanda dan Gejala
Jika seseorang mengalami herniasi diskus lumbar, gejala pertama yang muncul
adalah rasa tidak nyaman seperti nyeri di daerah bokong, paha, dan betis.
Sementara jika herniasi diskus terjadi pada ruas tulang cervical, gejala yang
muncul berupa nyeri pada daerah lengan dan bahu. “Rasa sakit ini bisa muncul
saat bersin, batuk atau ketika menggerakan tubuh dari satu posisi ke posisi
lainnya,” ujar dr. Mahdian. Kesemutan dan mati rasa (baal) pada area tertentu
tubuh yang terjadi berulang kali juga bisa menjadi tanda awal herniasi diskus
vertebralis. Dapat juga ditandai dengan melemahnya kekuatan otot.
Gejala lain yang dapat muncul akibat
herniasi diskus terutama daerah lumbar adalah sindroma cauda equina. Meski
jarang terjadi sindroma cauda equina dapat menyebabkan kelumpuhan permanen pada
kedua kaki, atau kesulitan buang air besar dan kecil, serta ganguan neurologi
lainnya jika tidak segera dilakukan pengobatan.
Faktor Risiko
Penggunaan otot punggung untuk aktivitas mengangkat beban berat dapat
menyebabkan terjadinya herniasi diskus verterbralis, selain itu trauma seperti
jatuh atau terkena pukulan keras di punggung juga dapat menyebabkan terjadinya
herniasi diskus. Faktor risiko lain yang dapat menyebabkan terjadinya herniasi
diskus adalah berat badan berlebih, aktivitas pekerjaan seperti mengangkat,
menarik, mendorong beban berat serta faktor genetik juga dapat meningkatkan
risiko herniasi diskus vertebralis. Pria dalam berberapa literatur dikatakan
juga memiliki risiko 2 kali lebih besar dibandingkan wanita.
Nikotin zat berbahaya yang dihasilkan oleh rokok, dapat menghambat aliran
darah ke diskus spinalis, sehingga mempercepat kerusakan degeneratif diskus
vertebra.
Diagnosis
Selama pemeriksaan fisik, dokter akan memeriksa pungggung, melakukan
penekanan pada beberapa bagian untuk mengetahui ada tidaknya nyeri. Pasien juga
diminta melakukan beberapa gerakan kaki, serta pemeriksaan neurologis yang
meliputi; refleks, kekutan otot, kemampuan berjalan, serta kemampuan menerima
rangsang panas, tusuk dan juga getar.
Untuk menunjang diagnosis, dokter mungkin melakukan pemeriksaan tambahan seperti
X-ray, untuk menyingkirkan penyebab lain, seperti adanya infeksi tulang
belakang, tumor, atau tulang yang patah. Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat
membantu dokter mengetahui letak herniasi diskus vertebralis, dan saraf
terdampak.
Terapi
Meski herniasi diskus lumbar ringan, gejalanya dapat sembuh sendiri dalam 6
minggu, pada beberapa kasus herniasi diskus yang berat membutuhkan terapi non
bedah dan pembedahan.
Pada kasus ringan, kompres dingin/ es, dapat menghilangkan nyeri akibat spasme
otot atau inflamasi. Obat anti inflamasi non steroid (NSAIDs) seperti
ibuprofen, naproxen juga dapat menghilangkan nyeri dan inflamasi akibat
herniasi diskus. Berendam dengan air hangat juga dapat membantu menghilangkan
nyeri. Untuk meningkatkan efektivitas terapi, kombinasi kompres dingin dan
hangat juga dapat dilakukan pasien di rumah.
Pada kasus yang lebih berat, dokter juga dapat memberikan suntikan epidural
steroid, untuk menghilangkan nyeri yang dialami pasien. Setelah suntikan
steroid diberikan, dokter umumnya menyarangkan terapi rehabilitasi, seperti
melakukan peregangan dan gerakan-gerakan tertentu.
Jika nyeri tetap muncul meski terapi obat sudah diberikan dan aktivitas
pasien masih minim, dokter akan menyarankan tindakan pembedahan.
Percutaneous Endoscopic Lumbar Disectomy
Terdapat dua prosedur operasi bedah
minimal yang populer dan direkomendasikan pada kasus herniasi diskus lumbal,
yaitu mikrodistectomy dan percutaneous endoscopic lumbar disectomy (PELD). Keduanya bertujuan menghilangkan tekanan
herniasi diskus pada saraf sekitar tulang belakang. Prosedur ini hanya
mengakibatkan sayatan kecil pada kulit, memberikan manfaat dan kenyamanan pada pasien secara lebih baik di banding
teknik bedah konvensional. Selain luka sayatan yang minimal, pada pasien dengan
kontra indikasi untuk dilakukan bius total, teknik ini dapat dilakukan dengan
menggunakan bius lokal. Pasien juga tidak harus berlama-lama di rumah sakit
atau klinik karena dapat juga dilakukan one
day care.
Seperti namanya, PELD dilakukan melalui prosedur endoskopi. Dokter akan
membuat sayatan kecil di kulit sebesar 7 mm, selanjutnya masuk ke dalam menuju
foramen. “Foramen merupakan area yang kaya akan persarafan. Di lokasi ini juga
tempat yang kemungkinan banyak terjadi jepitan saraf yang menimbulkan rasa
nyeri pada pasien,” jelas dr. Mahdian.
PELD juga biasa disebut dengan teknik stich
less surgery, karena teknik ini tidak membutuhkan jahitan setelah prosedur
dilakukan. “Tidak seperti operasi lainnya, yang memerlukan jahitan di akhir prosedur,”
tambah dr. Mahdian.
Dahulu pada teknik operasi konvensional, untuk dapat mencapai daerah saraf
yang terjepit, seorang dokter harus melakukan banyak sayatan, mulai dari
sayatan di kulit, sayatan di otot, sayatan/ pemotongan tulang lamina, baru
meniyisihkan saraf-saraf dan terakhir mengkoreksi bantalan tulang yang
menjepit. Tahapan yang harus dilakukan tadi, tentunya akan mengakibatkan trauma
jaringan. “Dengan teknik endoskopi, hal ini tidak dilakukan lagi,” jelas dr.
Mahdian.
Teknik operasi konvensional juga mengakibatkan perdarahan yang lebih
banyak, dibandingkan jika dilakukan dengan teknik endoskopi. Selain itu risiko
untuk terjadinya infeksi pada teknik operasi konvensional juga lebih besar.
Pemotongan tulang lamina pada teknik konvensional dikemudian hari dapat
mengakibatkan masalah instabilitas tulang hingga kekuatan tulang yang menurun.
“Teknik endoskopi juga tidak perlu memotong ligamen yang berfungsi sebagai
penyangga tulang,” jelas dr. Mahdian. Risiko kambuh kembali, juga lebih kecil
pada teknik endoskopi karena tidak menganggau stabilitas tulang belakang.
Dengan teknik endoskopi risiko perlengketan juga tidak ada, “Perlengketan
sering terjadi pada teknik konvensional,” jelasnya.
Belum lama ini sebuah penelitian dilakukan untuk melihat efikasi PELD pada
100 pasien dengan herniasi diskus lumbar yang telah gagal dengan terapi
konvensional. Usia pasien bervariasi antara 15 – 84 tahun. Setelah PELD, follow
up pasien dilakukan untuk mengetahui out come, kualitas hidup pasien, fungsi
neurologis dan komplikasi yang mungkin ditimbulkan paska PELD.
Hasilnya sebanyak 97 pasien mengalami perbaikan cukup signifikan pada
derajat nyerinya dari Visual Analog Score 8.2 turun menjadi 1.8 paska tindakan
PELD. Lama perawatan rata-rata selama 1,6 hari. Tindakan PELD dilakukan dalam
waktu sekitar 45 menit. Setelah tindakan PELD pasien juga dapat beraktivitas
seperti sediakala.
Tentang Klinik Nyeri dan Tulang Belakang
Arfa Pain and Spine Clinic berdomisili di RS Meilia Cibubur. Sedangkan Onta
Merah Pain And Spine Center berdomisili di Jl. Buncit Raya No. 9 Jakarta
Selatan.
Klinik ini dibangun dengan konsep yang kuat berprinsip NO MORE PAIN atau
orientasi terhadap kesembuhan pasien. Para pencetus dan pendiri Klinik Nyeri
dan Tulang Belakang – Arfa Pain and Spine Clinic dan Onta Merah Pain And Spine
Center merupakan dokter-dokter spesialis bedah saraf, spesialis rehabilitasi
medik dan spesialis anestesi di mana mereka bersama-sama ingin menghadirkan
wadah pengobatan dan konsultasi bagi masyarakat penderita nyeri.
Klinik Nyeri dan Tulang Belakang memberikan pelayanan dengan dokter-dokter terbaik. Tidak hanya sebagai
klinik pengobatan, Klinik Nyeri dan Tulang Belakang – Arfa Pain and Spine
Clinic dan Onta Merah Pain And Spine Center merupakan wadah dan tempat untuk
konsultasi masyarakat seputar nyeri dan peyembuhannya. Dengan mengedepankan
kualitas, kami hadir ke masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran bahwa nyeri
adalah penyakit yang harus dihilangkan. Kami dapat menangani nyeri dari ujung
kepala hinga ujung kaki.
Tidak ada komentar
Posting Komentar