Siaran Pers [Klinik Nyeri dan Tulang Belakang Jakarta] : Genicular Nerve Block and Ablation, Metode Baru Atasi Nyeri Lutut Kronis
Siaran Pers Dapat
Diterbitkan Segera
Genicular Nerve Block
and Ablation, Metode Baru Atasi Nyeri Lutut Kronis
Nyeri lutut adalah masalah
kesehatan yang umum dijumpai pada berbagai usia. Penyebabnya bisa
bermacam-macam, mulai dari trauma olahraga, kecelakaan, proses degenerasi atau
penuaan, hingga obesitas. Tidak hanya menimbulkan rasa tidak nyaman, nyeri
lutut yang berlangsung lama dapat menurunkan produktivitas dan kualitas hidup
penderita secara keseluruhan.
Penanganan nyeri lutut kronis cukup
rumit. Pemberian obat-obatan, terutama obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS)
kurang efektif dalam menangani kasus nyeri lutut jangka panjang dan dapat
menimbulkan efek samping serius pada saluran cerna, jantung, dan ginjal. Meski
banyak juga kasus berat yang sembuh dengan operasi, tidak semua pasien dapat
menjalani prosedur ini. Pilihan operasi dan penggantian sendi juga berisiko
meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Bahkan, pada pasien berusia muda
seringkali diperlukan operasi ulang sehingga kurang disukai.
Mengenal genicular nerve block and ablation
Sendi lutut dipersarafi oleh
berbagai cabang saraf yang dikenal dengan saraf genicularis. Saraf-saraf ini
adalah saraf yang terutama menghantarkan nyeri pada lutut. “Saraf genicularis
terletak di luar sendi sehingga mudah diakses melalui kulit dengan bantuan
ultrasonografi (USG) maupun fluoroskopi. Pembaalan atau ablasi pada saraf
genicularis diharapkan dapat menghambat impuls nyeri,” paparnya.
Manipulasi saraf genicularis
dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama adalah genicular nerve block, yaitu
tindakan pemberian obat anestesi lokal pada cabang-cabang tertentu saraf
genicularis. “Tindakan ini bersifat diagnostik, yaitu untuk menentukan apakah
tindakan ablasi akan efektif untuk meredakan nyeri pada pasien tersebut. Jika
dalam 24 jam setelah penyuntikan obat anestesi lokal terjadi penurunan nyeri
hingga lebih dari 50%, barulah dilakukan tahap kedua, yaitu ablasi cabang saraf
genicular,” paparnya. Tahap kedua dilakukan didahului dengan pemberian anestesi
lokal, dilanjutkan pemanasan saraf menggunakan radiofrekuensi. Radiofrekuensi
konvensional dilakukan pada suhu 70°C selama 90 detik, sedangkan cooled
radiofrequency dilakukan pada suhu 60°C. Cooled radiofrequency memberikan lesi
sferis dengan volume yang lebih besar dibanding radiofrekuensi konvensional.
Setidaknya terdapat tiga saraf
genicular utama yang menjadi target tindakan ablasi, yaitu cabang medialis
superior, medialis inferior, dan lateralis superior. Cabang-cabang ini dipilih
karena merupakan cabang saraf utama yang mempersarafi lutut dan letaknya
berdampingan dengan periosteum tulang sehingga lokasinya mudah ditentukan. Hal
ini meningkatkan angka keberhasilan tindakan.
Studi menunjukkan bahwa perbaikan
nyeri optimal terjadi mulai seminggu setelah prosedur dan bertahan selama 12
minggu. Bahkan, sejumlah pasien mengatakan manfaat dapat dirasakan hingga
setahun setelah prosedur. “Tidak hanya efektif, efek samping tindakan ablasi
juga sangat jarang ditemui. Tindakan dapat dilakukan secara rawat jalan, pasien
dapat kembali bekerja sehari setelahnya,” ujar dr. Mahdian.
Berbeda dari penyuntikan sendi
Selama ini, nyeri lutut kronis
seringkali melibatkan terapi panjang dan lama tanpa membuahkan hasil. Tidak
jarang pasien dianjurkan untuk menjalani prosedur penyuntikan sendi berulang
yang cukup mahal, melibatkan obat-obat golongan steroid dan penambahan cairan
sendi. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, penyuntikan ini juga harus
dilakukan tepat pada rongga lutut sehingga dapat dikatakan angka
keberhasilannya sangat bergantung kepada keterampilan dokter.
Sementara, tindakan genicular nerve
block and ablation dilakukan pada cabang-cabang saraf lutut yang terletak di
luar sendi dan tulang, sehingga lebih mudah dicapai dan memiliki angka
keberhasilan yang cukup baik, terutama dengan bantuan ultrasonografi atau
fluoroskopi. “Penggunaan ultrasonografi umumnya lebih disukai karena tidak
memerlukan ruangan khusus dan tidak menimbulkan risiko radiasi,” ujar dr.
Mahdian.
Komplikasi pada prosedur ini jarang
ditemui, terutama jika dilakukan dengan bantuan ultrasonografi atau fluoroskopi
dan tindakan aseptik. Reaksi alergi terhadap obat anestesi mungkin dapat
terjadi. Dan nyeri pasca tindakan umum dijumpai, tetapi dapat diatasi dengan
pemberian obat anti nyeri. Komplikasi berupa parestesia dan kebas pernah
ditemukan tapi sangat jarang.
Tentang Jakarta Pain & Spine Center (JPSC)
Berdiri pada awal tahun 2015,
Jakarta Pain & Spine Center (JPSC) atau Klinik Nyeri dan Tulang Belakang
Jakarta, hadir sebagai klinik yang menawarkan solusi pengobatan berbagai macam
penyakit nyeri dan tulang belakang. JPSC merupakan klinik pertama di Indonesia
yang menggunakan peralatan modern sebagai penunjang diagnostik dalam penanganan
nyeri.
Klinik nyeri yang berdomisili di
Jakarta ini dibangun dengan konsep yang kuat berprinsip NO MORE PAIN yang
berorientasi terhadap kesembuhan pasien. Para pencetus dan pendiri JPSC
merupakan para dokter spesialis, yang bersama-sama ingin menghadirkan wadah
pengobatan dan konsultasi bagi masyarakat penderita nyeri.
Dengan mengedepankan kualitas, JPSC
hadir ke masyarakat untuk menumbuhkan kesadaran bahwa nyeri adalah penyakit
yang harus dihilangkan. Seperti tertuang dalam visi dan misinya sebagai pusat
pengobatan nyeri dan tulang belakang, diharpakan JPSC mampu memberikan
pelayanan terbaik terhadap pasien diseluruh wilayah Indonesia.
Tidak ada komentar
Posting Komentar