Advertiser

Breaking News

Studi : Penggunaan PPI dan Meningkatnya Risiko MI


Penggunaan obat penurun asam lambung dalam jangka lama dalam sebuah studi, dikatakan dapat meningkatkan risiko  myocardial infarction (MI). Perlu studi untuk menyelidiki hubungan yang lebih pasti antara PPI dan MI.

Gastroesophageal reflux adalah fenomena fisiologis normal, yang sesekali dialami kebanyakan orang terutama setelah makan. Gastroesophageal reflux disease (GERD) terjadi ketika sejumlah cairan lambung masuk kembali ke kerongkongan melebihi batas normal, menyebabkan gejala dengan atau tanpa cedera mukosa esofagus yang terkait seperti esofagitis.

Sebuah studi yang dilakukan Richter dan Gallup Organization National Survey memperkirakan, 25-40% orang Amerika dewasa yang sehat mengalami gejala GERD. Sebagian besar biasanya dinyatakan secara klinis oleh pyrosis (mulas), setidaknya sebulan sekali. Sekitar 7-10% dari jumlah ini mengalami gejala GERD setiap hari. Banyak individu mengontrol gejala dengan over-the-counter (OTC) obat tanpa konsultasi dengan profesional medis. Diperkirakan, jumlah sebenarnya orang dengan GERD mungkin lebih tinggi.

Belum lama ini, tepatnya pada akhir 2015, sebuah studi mempublikasikan temuan yang mengejutkan. Dinyatakan bahwa penggunaan obat penurun asam lambung dalam jangka waktu lama,  dapat meningkatkan risiko terjadinya myocardial infarction (MI) pada individu.

Studi ini dilakukan pada lebih dari 16 juta medical record, atau pada sekitar 2,9 juta pasien di Amerika Serikat yang mengalami acid reflux disease (heartburn). Dalam penelitan tersebut diketahui bahwa pada kelompok yang mengggunakan proton pump inhibitor (PPI) sebagai terapi, angka kejadian MI lebih tinggi. Lebih lengkapnya, pada penelitian yang dilakukan oleh Dr. Nigam H. Shah dan kawan-kawan, pasien dengan gastroesophageal reflux disease (GERD) yang mendapatkan terapi PPI mengalami peningkatan kejadian MI sebesar 16%. Para peneliti juga mencatat, terjadi peningkatan 2x lipat risiko kematian terkait penyakit kardiovaaskular. Sementara para peneliti tidak menemukan hal yang serupa, pada pasien yang menggunakan H2 blocker sebagai terapi GERD.


Temuan dari beberapa studi kohort, pada subyek dengan penyakit arteri koroner juga menunjukkan adanya perburukan pada mereka yang diberi PPI dan clopidogrel. Hal tersebut menunjukkan, ketika dokter hendak memberikan obat kepada pasien, perlu berpikir sekali lagi mengenai kemungkinan efek samping yang dapat ditimbulkan obat yang diberikan.

“Dalam penelitian yang kami lakukan, penggunaan PPI dapat meningkatkan risiko MI dan kematian akibat penyakit kardiovaskular, termasuk pada populasi muda yang tidak mendapat terapi anti platelet. Kami menduga ada mekanisme tertentu dari PPI, yang selanjutnya mengakibatkan terjadinya agregasi dari platelet. Dalam penelitian kami baik secara molekular, selular, psikologikal dan data in vivo, menunjukkan penggunaan PPI menghambat aktivitas DDAH (dimethylargininase). Hal ini yang selanjutnya meningkatkan risiko penyakit kardiovaskuler. Lebih lanjut diketahui bahwa DDAH merupakan suatu enzime yang mampu mempertahankan kesehatan jantung, memetabolisme ADMA serta menghambat sintase nitric oxide,” ujar peneliti.

Efektivitas PPI untuk terapi GERD memang sudah tidak diragukan lagi. Dan obat ini dapat dibeli dengan mudah di apotik, tanpa resep dari dokter. Dokter Nicholas J. Leeper, dokter spesialis vaskular dari Stanford, tidak menyarankan individu yang sedang menggunakan PPI menghentikan pengobatan mereka. Namun, pasien mungkin dapat mempertimbangkan kelas atau pilihan obat lain untuk GERD,  disesuaikan dengan riwayat kesehatan mereka sebelumnya.

Joe Rubenstein, MD, Wakil Ketua the American Gastroenterological Association Institute Clinical Practice Section, juga tidak sepenuhnya setuju pada penelitian ini. Ia menyatakan, tidak serta merta pasien yang sudah menggunakan PPI untuk pengobatan GERD harus menghentikan pengobatan. Rubenstein menyarankan untuk dilakukan penelitian lanjutan mengenai hal ini. Tidak tertutup kemungkinan, kejadian MI pada penggunaan PPI ada hubungan dengan beberapa kondisi lain. Misalnya obesitas, pasien salah dalam diagnosis, yang awalnya diduga sebagai GERD ternyata pasien memang mengalami angina sebelumnya.


Dr. Leeper mengatakan, perlu dilakukan studi prospektif acak untuk menyelidiki hubungan yang lebih pasti antara PPI dan MI. (ant)

Tidak ada komentar